Pengertian pemilu di
Indonesia bisa dibilang pesta demokrasi rakyat dalam
kehiduoan bermasyarakat, khususnya pada bidang pemerintahan indonesia. Sebagai
negara-negara yang lain yang menganut paham demokrasi, Indonesia menjalani
Pemilihan Umum (Pemilu) pada setiap kurun waktu tertentu, sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
Pemilu
Di Indonesia
Pemilu
Di Indonesia merupakan wujud dari kedaulatan rakyat terhadap hak-haknya untuk
memilih para pejabat negara pada sistem pemerintahan di Indonesia. Pemilihan
umum adalah salah satu mekanisme demokrasi pada Negara Kesatuan Republik
Indonesai yang tercantum pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa rakyat
memiliki kekuasaan (kedaulatan) yang tertinggi. Mekanisme terhadap penyerahan
kedaulatan rakyat ini, akan dilakukan melalui wakilnya (representative
democracy) adalah melalui Pemilu.
Pengertian
pemilu di Indonesia merupakan sarana dalam pelaksanaan kedaulatan rakyat
tersebut untuk memilih wakil rakyat secara langsung untuk anggota lembaga
negara, yaitu DPR, DPD dan DPRD serta Presiden dan
Wakil Presiden. Sebelum amandemen keempat UUD 1945, presiden dan wakil presiden
dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sebagai yang memiliki kedudukan
lembaga tertinggi negara.
Pemilihan
umum untuk presiden dan wakil presiden (pilpres), baru dilakukan setelah
amandemen UUD yang pertama kali diadakan pada tahun 2004. Kemudian
dilanjutkan dengan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah
(pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari agenda pemilu di Indonesia,
berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007. Lalu untuk
setiap lembaga negara yang dipilih dalam
pemilu tersebut, melahirkan istilah pembagian pemilu yaitu pemilu
legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diselenggarakan 5 tahun
sekali.
Sistem
Pemilihan Umum di Indonesia
Sampai tahun 2009 bangsa indonesia sudah
sepuluh kali pemilihan umum diselenggarakan, yaitu dari tahun 1955, 1971,1977,
1982, 1992, 1997, 2004 dan terakhir 2009. semua pemilihan umum tersebut tidak
diselenggarakan dalam situasi yang vacuum, melainkan berlangsung didalam
lingkungan yang turut menentukan hasil pemilihan umum tersebut. Dari pemilu
yang telah dilaksanakan juga dapat diketahui adanya upaya untuk mencari sistem
pemilihan umum yang cocok untuk Indonesia.
1. Zaman
Demokrasi Parlementer (1945-1959)
Pada masa ini pemilu dilaksanakan oleh kabinet Baharuddin Harahap pada
tahun 1955. Pada pemilu ini pemungutan suara dilakukan dua kali yaitu yang
pertama untuk memilih anggota DPR pada bulan September dan yang kedua untuk
memilih anggota Konstituante pada bulan Desember. Sistem yang digunakan pada
masa ini adalah sistem proporsional.
Dalam
pelaksanaannya berlangsung dengan khidmat dan sangat demokratis tidak ada
pembatasan partai-partai dan tidak ada usaha dari pemerintah mengadakan
intervensi terhadap partai kampanye berjalan seru. Pemilu menghasilkan 27
partai dan satu perorangan berjumlah total kursi 257 buah.
Namun stabilitas politik yang sangat diharapkan dari pemilu tidak terwujud.
Kabinet Ali (I dan II) yang memerintah selama dua tahun dan yang terdiri atas
koalisi tiga besar: Masyumi, PNI, dan NU ternyata tidak kompak dalam menghadapi
beberapa persoalan terutama yang terkait dengan konsepsi Presiden Soekarno
zaman Demokrasi Parlementer berakhir.
2. Zaman Demokrasi Terpimpin
(1959-1965)
Setelah pencabutan Maklumat Pemerintah pada bulan November 1945 tentang
kebebasan untuk mendirikan partai, Presiden Soekarno mengurangi jumlah partai
menjadi 10 buah saja. Di zaman Demokrasi Terpimpin tidak diadakan pemilihan
umum.
3. Zaman
Demokrasi Pancasila (1965-1998)
Setelah runtuhnya rezim Demokrasi Terpimpin yang semi-otoriter, masyarakat
menaruh harapan untuk dapat mendirikan suatu sistem politik yang demokrati dan
stabil. Usaha yang dilakukan untuk mencapai harapan tersebut diantaranya
melakukan berbagai forum diskusi yang membicarakan tentang sistem distrik yang
masih baru bagi bangsa Indonesia.
Pendapat
yang dihasilkan dari seminar tersebut menyatakan bahwa sistem distrik dapat
mengurangi jumlah partai politik secara alamiah tanpa paksaan, dengan harapan
partai-partai kecil akan merasa berkepentingan untuk bekerjasama dalam usaha
meraih kursi dalam suatu distrik. Berkurangnya jumlah partai politik diharapkan
akan membawa stabilitas politik dan pemerintah akan lebih berdaya untuk
melaksanakan kebijakan-kebijakannya, terutama di bidang ekonomi.
Karena
gagal menyederhanakan sistem partai lewat sistem pemilihan umum, Presiden
Soeharto mulai mengadakan beberapa tindakan untuk menguasai kehidupan
kepartaian. Tindakan pertama yang dilakukan adalah mengadakan fusi diantara
partai-partai, mengelompokkan partai-partai dalam tiga golongan yaitu Golongan
Spiritual (PPP), Golongan Nasional (PDI), dan Golongan Karya (Golkar).
Pemilihan umum tahun1977 diselenggarakan dengan menyertakan tiga partai, dalam
perolehan suara terbanyak Golkar selalu memenangkannya.
4
. Zaman Reformasi (1998- 2009)
Ada satu lembaga baru di dalam lembaga legislatife, yaitu DPD
( dewan perwakilan daerah ). Untuk itu pemilihan umum anggota DPD digunakan
Sistem Distrik tetapi dengan wakil banyak ( 4 kursi untuk setiap propinsi).
Untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD digunakan system proposional dengan daftar
terbuka, sehingga pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung kepada
calon yang dipilih. Dan pada tahun 2004, untuk pertama kalinya diadakan pemilihan
presiden dan wakil presiden secara langsung, bukan melalui MPR lagi.